Minggu, 15 Desember 2013

Kekuasaan Yang Islami

"+"


Sistem Kekuasaan
yang Islami






A.    PENDAHULUAN
Kekuasaan erat kaitannya dengan susunan masyarakat1, bagaimanapun juga sebuah struktur masyarakat harus ada yang mengatur guna tidak terjadi gejolak sosial yang tidak diharapkan, demikian juga kekuasaan tidak ada artinya bila tidak ada masyarakat, oleh karena itu antara kekuasaan dan struktur masyarakat memiliki keterkaitan. Dilihat secara termologi bahasa kalimat kekuasaan mengandung makna kepemimpinan, dan kalimat kepemimpinan memiliki kesamaan arti dengan istilah kekhalifahan yang berarti pemimpin, dimana termaktub dalam firman Allah surat Al Baqarah: 30, artinya, “…sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah (pemimpin) dimuka bumi………”2. Istilah kekuasaan  terbentuk dari kata kuasa dengan awalan ke dan akhiran an. Dalam kamus, kata kekuasaan diberi arti dengan kuasa (untuk mengurus, memerintah dan sebagainya) kemampuan, kesanggupan, kekuatan3.
Pengertian leksikal diatas menunjukkan bahwa kata kekuasaan selain merujuk kepada makna benda (kemampuan, kesanggupan, kekuatan), juga merujuk pada makna sifat yang memiliki makna orang yang diberi kewenangan, sehingga dari ketiga makna yang dimaksud diharapkan bisa untuk menjalankan fungsinya bagi seseorang yang diberi kewenangan tersebut, kewenangan apa? berkuasa. Berkuasa pada siapa? pada masyarakat yang telah menunjuknya dengan ketiga unsur yang dimiliki, dengan dinobatkannya sebagai pemimpin, maka sifat kekuasaannya tersebut tidaklah mutlak, artinya kekuasaan yang dimilikinya terbatas karena berangkat dari usulan masyarakat..
Dengan demikian, jelas bahwa kekuasan berkaitan dengan hukum sosial kemasyarakatan dimana kekuasan itu dikehendaki dari masyarakat maka masyarakat hendaknya bisa mengawasi jalannya kekuasaan tersebut, agar tidak disalah gunakan bagi penguasa. Unsur pengawasan ini relevan karena terkait dengan masyarakat yang menunjuk seseorang sebagai penguasa. Pengawasan ini menjatuhkan sifat yang dimiliki penguasa dengan kewajiban agar bisa memberikan laporan pertanggung jawaban yang dilakukan. Hal ini penting karena pertanggung jawaban adalah sebagai bentuk konsekwensi sebuah kepercayaan (amanah) yang diberikan kepada yang berkuasa. Gambaran kekuasaan sebagai amanah mengandung makna bahwa kekuasaan itu merupakan suatu obyek yang dilimpahkan kepada salah seorang manusia dan makna pertanggung jawabannya melekat pula padanya. Artinya setiap orang yang diberi kekuasaan harus mampu mempertanggung jawabkan penggunaan kekuasaannya, apakah ia menyelenggarakan amanat sesuai dengan yang diharapkan ataukah justru sebaliknya. Bagaimanapun dengan adanya kekuasaan tersebut diharapkan bisa mengontrol, mengawasi, mengatur, mengayomi masyarakat guna kemaslahatan, sebagaimana secara implisit penegasan dalam Al qur’an 2: 30 bertujuan guna kemaslahatan umum bukan tujuan yang tertentu apalagi untuk kepentingan kelompok atau golongan.
Untuk itu setiap manusia memiliki hak sebagai penguasa. Karena pada hakekatnya manusia memiliki fitrah dari Tuhan. Fitrah ini diterjemahkan sebagai kemampuan dasar manusia yang dimiliki, maka setiap orang memiliki kemampuan tersebut. Maka sangat fatal bila ada sekelompok komunitas manusia hanya mengharapkan kekuasaan itu dipegang oleh suatu kelompok tertentu dengan memperhatikan aspek kehormatan dari ras, suku, golongan, keturunan, warna kulit tanpa memperhatikan aspek kemampuan yang dimiliki oleh setiap diindividu, kalau ini memang terjadi maka itu berarti sama halnya menyalahi kodrat manusia yang diberikan dari Tuhannya, dan ini termasuk sebuah gerakan diskriminatif. Padahal setiap manusia memiliki pandangan yang sama dihadapan Tuhan, Tuhan tidak membedakan manusia yang mulia itu adalah mereka yang berasal dari keturunan bangsawan, orang yang kaya raya, orang yang berkulit putih, orang yang pandai, tetapi kemuliaan manusia dihadapan Tuhan adalah tingkat ketakwaan seorang hamba itu sendiri pada tuhannya. Oleh karena itu sikap diskriminatif yang hanya mempertimbangkan kelayakan seseorang untuk diberi suatu amanah hanya pada aspek ras, suku, golongan, keturunan, warna kulit tentu sama sekali tidak diinginkan dalam Islam. Bagaimanapun setiap manusia memiliki hak agar bisa mengapresiasikan potensi dasar tersebut, tentunya didasari oleh sikap “tahu diri” sampai sejauh mana kemampuan yang dimilikinya dan mampu membawa kemaslakhatan bersama.
Nilai kemaslakhatan ini menjadi realisasi dari misi dasar Islam yang pada hakekatnya adalah sifat humanisme, dimana dalam prinsip humanisme harus diwujudkan dengan sikap toleransi, menghargai orang lain, menghormati, saling tolong menolong, toleransi, memiliki kesamaan dihadapan hukum, keadilan, kejujuran, dan lain sebagainya. Catatan tersebut yang harus diwujudkan oleh seorang penguasa bagi umat yang dipimpinnya, apakah penguasa itu berbentuk presiden, raja, sultan, perdana mentri, khalifah atau yang lainnya tidak jadi soal, lebih baik menggunakan istilah umum, kalau memang mampu menghadirkan sikap humanisme, dari pada memakai simbol Islam tapi malah justru  merampas hak-hak manusia yang dipimpinnya malah justru tidak Islami. Jadi bagaimana wujud kekuasaan itu dilakukan demi semata-mata untuk kemaslahatan manusia, disinilah nilai islaminya yang harus dikedepankan bukan terletak pada simbol, maka apapun istilah kekuasaan tersebut asalkan  mengedepankan sikap amanah sebagai bentuk tanggung jawab baik kepada sesama manusia dan Tuhan serta guna  kemaslahatan umat, bukan persoalan. Politik yang dilakukan bukan untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu, inilah nilai Islam yang harus hadir sebagai nilai yang benar-benar rahmatanlil ‘alamin.


B.     KEKUASAAN
  1. Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang tertentu atau semua orang 4. Secara psikologis manusia dapat dipastikan bahwa setiap individu manusia ingin menjadi pengaruh atau subyek bagi orang lain dilingkungan sekitarnya, dia tidak mau hanya sebagai obyek,  untuk itu kekuasaan yang diraihnya memerlukan sebuah legitimati dari lingkungannya sebagai pemimpin guna memperoleh hak-haknya sebagai seorang penguasaa. Apakah itu diperoleh dari bentuk asosiasi kemasyarakatan, perhimpunan pemuda, kemahasiswaan, agama, pekerja. Yang jelas kekuasaan tersebut atas dasar kebutuhan masyarakat.
Sehingga jelas sekali bahwa antara kekuasan erat hubungannya dengan struktur masyarakat yang ada5, jadi kekuasaan yang dimaksudkan adalah untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat6.


  1. Hakekat Kekuasaan yang Islami
Berdasar dari keterangan diatas sangat jelas tergambarkan bahwa terbentuknya kekuasaan tersebut tidak lain adalah untuk  memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar, bagaimana untuk menertibkan adsminitrasi masyarakat banyak, menegakkan perkara secara hukum yang benar secara konstitusi7, dengan berdasar aturan yang benar, tidak meringankan atau merugikan fihak lain.
Bila memang tidak terdapat penguasa yang mampu mengatur, menjalakan, mempengaruhi, mengubah, dan mempertahankan suatu struktur bentuk masyarakat maka bagaimana jadinya sebuah masyarakat itu sendiri. Disini cerminan keberadaan sebuah penguasa, namun tentunya bukan penguasa yang maha muthaq keberadaannya sebagaimana sejarah Islam pun sudah mencatatnya bagaimana keberadaan penguasa yang pasca zaman kekhalifahan berlangsung, dia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa karena pemahaman dia telah berhasil menundukkan masyarakat tertentu sehingga kekuasaannya adalah hak baginya dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaan raya adalah sebagai abdi/ hamba yang diharuskan nurut dan patuh kepada kehendak penguasanya tanpa terkecuali, serta anak keturunan penguasa adalah sebagai putra mahkota (ahli waris) dalam melanjutkan roda kekuasaannya8, pola seperti ini tentu sama sekali tidak dikehendaki oleh masyarakatnya, bagaimanapun keberadaan sebuah penguasa harus mengerti akan kebutuhan hajat hidup masyarakat yang dikuasainya.
Hal tersebut tersirat dalam diri Rasullullah Saw, dimana dia diangkat sebagai penguasa atau pemimpin karena atas kebutuhan masyarakat Yatsrib (Madinah), beliau menjabarkan ajaran Islam yang meliputi dunia dan Akherat, hubungan dengan Allah, manusia serta mahluk yang lain, sehingga pada akhirnya ia memang pemutus dan penentu yang diakui masyarakatnya, sehingga posisi beliau bagaimana ajaran Islam bisa tercermin dalam sikap, perbuatan, dan perkataannya9. Maka, posisi penguasa atau pemimpin pada jiwa nabi bukan dijadikan sebagai hak tapi dijadikan sebagai sebuah amanah yang harus dipertanngung jawabkan baik kepada manusia lebih-lebih kepada Allah SWT, untuk itu beliau sangat berhati-hati dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.



C.     PRINSIP POLITIK KEKUASAN YANG ISLAMI
               Secara mendasar prilaku politik pada hakekatnya berujung bagaimana untuk mendapatkan kekuasaan atau jabatan. Sikap ini termotifasi oleh adanya gerakan atau sinyalemen yang dilakukan, apakah itu dilakukan secara pribadi (individu) atau kelompok (kolektif). Menang sulit apabila seorang bergelut dalam dunia politik dia tidak ingin atau tidak mempunyai tujuan yang dikehendaki, sebagaimana yang dijelaskan oleh Deliar Noer, bahwa politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan10. Sehingga dapat dipastikan bahwa setiap orang yang mengarah pada prilaku politik pada ujung-ujungnya adalah kekuasaan itu sendiri. Karena pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa politik adalah segala bentuk kegiatan yang menyangkut dari proses penentuan tujuan-tujuan yang dimaksud.
            Guna merealisasikan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan lewat kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber yang ada. Maka, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, diperlukan kekuasaan dan kewenangan11, bagaimana mungkin bisa mempengaruhi, merubah dan mempertahankan bisa terwujud, tanpa adanya kekuasaan dan kewenangan?. Posisi kekuasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum ini sangat berarti.
               Pada  gambaran  diatas yang  menjadikan  setiap  manusia  jadi  gelap, dalam arti  apapun  resikonya,  benar  atau  salah,  halal  atau haram, ma’ruf  atau mungkar,  baik  atau buruk, tidak  jadi  masalah,  yang  penting  tujuan  tercapai. Sehingga  dalam  berperilaku  politik  tidak  ada  istilah  kawan  atau  musuh  abadi,  boleh  jadi  sekarang  jadi  musuh  besok  jadi  kawan  atau  justru sebaliknya  sekarang  jadi  kawan  besok  sudah  jadi  musuh, yang  ada       adalah kekuasaan. Masing-masing orang atau kelompok hanya menginginkan sebuah kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri atau kelompoknya saja.
           Perilaku atau sikap yang seperti itu sama artinya manusia telah merendahkan martabatnya sendiri, karena setiap manusia memiliki budi perkerti, sikap berprilaku yang baik, sopan, santun, berbudi luhur dan ini yang membedakan manusia dengan mahluk Tuhan yang lain. Kalau memang manusia ingin meraih sebuah kekuasaan, maka harus ada aturan main yang itu tidak menyimpang dan merampas hak-hak kemanusiaan secara umum. Ada sebuah bangunan etika yang harus diperhatikan, boleh saja manusia bersikeras untuk mencapai tujuannya, tetapi harus memperhatikan kerangka nilai-nilai kemanusian.
                  Kerangka dasar sebuah nilai kemanusiaan secara umum ini sangat penting dalam mengatur langkah setiap orang yang akan berprilaku politik. Islam sebanarnya sebuah ajaran agama yang tidak hanya mengajarkan ritualitas umatnya kepada Tuhannya saja, tetapi didalam ajaran Islam sendiri tersimpan nilai-nilai kemanusiaan (humanis)12.
               Bagaimana sejarah telah mencatat ketika Rasulullah Saw, membangun negara Madinah, beliau dalam membangun sebuah tatanan masyarakat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai ahlaqul karimah hal ini terwujud dengan bercirikan sikap egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan atas prestasi (bukan prestise seperti garis keturunan, kesukuan, ras dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan lebih modern lagi (dimana bangsa-bangsa lain belum memiliki kerangka fikir demokratis, yang mulai dianut oleh masyarakat dunia baru-baru ini) dalam penentuan kepemimpinan melalui proses pemilihan, bukan berdasar pada keturunan, hal tersebut terlihat sekali pada saat pergantian kepemimpinan beliau saat meninggal digantikan oleh para sahabat-sahabat beliau.
              Terlihat juga bahwa gagasan pokok-pokok politik di Madinah ini ialah adanya suatu tatanan sosial politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama. Jadi tidak seperti prinsip raja atau sebuah kesultanan pada sebuah wilayah kerajaan yang mana, prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan dapat berubah sejalan dengan kehendak raja atau sultan yang berkuasa. Kondusifitas sosial politik yang dibangun di Madinah tersebut bersumber dari Piagama Madinah sebagai bentuk konstitusi sebuah negara modern. Piagam Madinah merupakan sumber etika yang sudah disepakati bersama lewat sebuah musyawarah yang diikuti oleh delegasi dari masing-masing suku yang ada disekitar Madinah.
           Apabila kita mau merefleksikan studi atas  masa lalu tersebut, tentu akan memberikan gambaran yang ideal sebuah prilaku dalam berpolitik yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan secara umum dewasa ini. Karena bagaimanapun juga cita-cita Islam yang demikian itu sejalan dengan harapan cita-cita kemanusiaan pada umummnya13.
             Perwujudan tersebut bukan harus berbentuk Negara Islam sebagaimana pada zaman Rasullullah Saw membangun negara Madinah, karena memang situasi dan kondisi sudah jauh berbeda dengan masa sekarang. Yang terpenting adalah menghadirkan prinsip-prinsip humanisme dalam proses berpolitik dan berkuasa. Jadi tidak harus memakai nama istilah Islam, namun nilai-nilai islaminya yang dihadirkan dalam wujud aksi yang nyata, itu lebih baik. Jadi sikap politik yang bagaimanapun wujudnya dan sistem kekuasaan yang berbentuk apaun tidak jadi masalah14, asalkan hal itu dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (humanis) demi terciptanya kemaslakhatan umat, bukan persoalan. Inilah nilai Islam hadir sebagai nilai yang benar-benar terbuka, inklusif, rahmatanlil ‘alamin.



D.    KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian diatas maka, pada akhir bahasan penulis akan memberikan kesimpulan atas beberapa poin penting diantaranya adalah:
  1. Sebuah kekuasaan memiliki makna kemampuan, kesanggupan, kekuatan, guna mengatur masyarakat secara benar, sehingga kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan baik kepada manusia dan kepada Sang Penguasa Alam (Tuhan).
  2. Sikap berpolitik bagi manusia adalah absah, selama mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan secara umum.
  3. Kekuasan yang Islami bukan sekedar menampilkan corak Islam tapi bagaimana mampu menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan (humanis), dan wujud dari sikap humanisme ini tercermin dalam sikap keadilan, kebebasan, persamaan, menghargai, menghormati, tolong menolong, toleransi, dan lain yang sejenis.






DAFTAR PUSTAKA

Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution (Pakistan, Lahore, 1975), Terj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistim Politik Islam, Bandung, Mizan, 1994.

Deliar Noer, Pengantar Kepemikiran Politik, Jakarta, Rajawali, 1983.

Depaq RI, Al Qur’an dan Terjemah, Bandung, Gema Risalah Press, 1992.

Imam Khomeini, Islamic Government (Seri Perkuliahan Imam Khomeini tahun 1970), Terj. Muhammad Anis Maulachela, Sistem Pemerintahan Islam, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002.

Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Muhammad Husein Heikal, Al Hukamatul Islamiyah (Kairo, Darul Ma’arif, t.t.), Terj. Tim Pustaka Firdaus, Pemerintahan Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1993.

Muhammad Dhia’uddin ar Rayyis, al Islam wa al Khalifah fi al Ashr al Hadits (cairo, Maktabah Dar At Turats, t.t.), Terj. Alwi As, Islam dan Khalifah di Zaman Modern, Jakarta, Lentera Basritama, 2002.

Nurcholish Madjid, Cita Cita Politik Kita; Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta, LEPPENAS, 1983.

_______________, Cita Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta, Paramadina, 1999.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983.




1 Deliar Noer, Pengantar Kepemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), 5.
2 Depag RI, Al qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1992), 13.
3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), 529.
 4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 35.
5 Ibid, 35.
6 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, 6.
7 Imam Khomeini, Islamic Government (seri perkuliahan Imam Khomeini tahun 1970), Terj. Muhammad Anis Maulachela, Sistem Pemerintahan Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), 36.
 8 Muhammad Husein Heikal, Al Hukumatul Islamiyah, (Kairo: Darul Maarif, tt), Terj. Tim Pustaka Firdaus, Pemerintahan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 26.
9 Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution, (Pakistan: Lahore, 1975), Terj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), 13.
10 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, 6.
 11 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, 8.
 12 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), xi.
 13 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Kita; Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta: LEPPENAS, 1983), 7.
14 Muhammad Dhia’uddin ar Rayyis, al Islam wa al Khilafah fi al Ashr al Hadits, (Cairo: Maktabah Dar At Turats, t.t.), Terj. Alwi As, Islam dan Khilafah di Zaman Modern, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), 172

Kamis, 12 Desember 2013

Etika Politik dalam Perspektif Islam

"+"

ETIKA POLITIK
DALAM PERSPEKTIF ISLAM




A.    Pendahuluan

Pencarian konsep tentang etika politik Islam merupakan salah satu diskursus sentral dalam sejarah pemikiran Islam1. Dalam sejarah Islam masa Nabi Saw, Negara yang dibangun tidak mempunyai cara untuk memaksakan partisipasi warga terhadap urusan-urusan publik. Taruhlah contoh tentang perintah kepada Nabi saw untuk menolak pembayaran zakat (sedekah) dari dermawan yang tidak ikhlas, dan juga melarang mereka yang menolak berpartisipasi dalam misi tertentu untuk bergabung dalam ekspedisi-ekspedisi berikutnya2. Sangsi-sangsi yang dijatuhkan –kalau pun ada-- hanya bersifat moral dan sangat jauh dari cara konvensional pemaksaan negara. Contoh lain, misalnya fungsi-fungsi peradilan negara dimasa Nabi Saw, juga lebih berdasarkan pada moralitas daripada penggunaan paksaan. Dinyatakan dalam Al qur’an, seseorang dianggap benar-benar beriman jika ia mau menerima Nabi Saw sebagai hakim tertinggi dalam setiap perselisihan diantara mereka. Ketentuan ini diabadikan dalam dokumen Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah)3. Secara implisit telah digambarkan dalam Al qur’an, orang-orang non Muslim bisa dikenakan fungsi judisial negara Madinah bila mereka sendiri bersedia. Sekalipun mereka bersedia, Nabi Saw bisa memilih menjatuhkan sangsi tertentu dalam penyelesaian perselisihan mereka4.
Seiring dengan wafatnya Nabi Saw, situasi agak berbeda. Tanpa seorang pemimpin tertinggi untuk mendamaikan perselisihan yang banyak bermunculan, maka otoritas politik dengan terpaksa diperlukan. Mula-mula terjadi perselisihan tentang siapa dan atas dasar apa seseorang bisa menjadi pemimpin umat. Ketika masalah ini terselesaikan, terjadi lagi perselisihan tentang otoritas apa saja yang dimiliki oleh pemimpin dan seterusnya dan seterusnya,  hingga tak jarang membawa perang saudara5.
Berangkat atas dasar fenomena di atas, bagaimana merumuskan sebuah etika berpolitik yang Islami6? Etika yang mengatur kehidupan damai, bukan  perselisihan dan kejahiliyahan7. Karena pada dasarnya manusia diciptakan tidak hanya saja sebagai mahluk pribadi (individu), tetapi juga sebagai mahluk sosial. Aspek sosial ini yang harus digaris bawahi, sehingga wajar jika manusia dituntut berperan aktif dalam pergulatan realitas dengan keterbatasan dan keuniversalitasannya. Keterbatasan tercipta, karena kebebasan manusia dibatasi oleh hak orang lain --yakni nilai-nilai, norma, adat istiadat, etika dan lain-lain—dan universalitas dimiliki karena manusia diberi hak untuk mengelola secara maksimal dunia ini dengan sebaik-baiknya oleh Tuhan8. Ini yang mendasari tuntutan perlunya seperangkat etika dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis ---meskipun tidak menjamin kemakmuran--- sebagaimana sabda Tuhan, bahwa diciptakannya manusia di dunia ini adalah sebagai khalifatullah.

B.     Pengertian Etika dan Etika Politik

1.      Pengertian Etika
Istilah “etika”, berasal dari Bahasa Yunani Kuno. Istilah ini diambil dari kata “ethos”, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu kebiasaan, adat, watak, ahlak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah kebiasaan9.
Dalam bahasa Inggris ethic berarti, system of moral principles10. Istilah etika, moral dan akhlaq, secara etimologis memiliki makna yang sama, yakni adat, kebiasaan, dan perangai (watak), hanya saja ketiga istilah ini berasal dari bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Yunani, Latin dan Arab11.
Secara termologi, etika didefinisikan sebagai, “The normative science of  the conduct of human being living in societies is a science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad. Secara singkat, etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral) 12.
Dari definisi di atas, pengertian etika lebih diarahkan sebagai ilmu, namun sebenarnya etika mempunyai pengertian yang lebih luas. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia istilah etika dijelaskan dengan membedakan 3 arti, yakni pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan tentang kewajiban moral (akhlaq); kedua, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq atau sikap seseorang; dan ketiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat13. Jadi dari sisi istilah, etika memiliki tiga makna, yakni sebagai sistem nilai, kode etik dan filsafat moral.
Pengertian etika sebagai sistem nilai memiliki arti yang sama dengan moral. Franz Magnis Suseno mengartikan moral sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan-kumpulan dan ketetapan baik dengan lesan maupun tulisan tentang bagaimana manusia itu harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik14. Pengertian sama juga digunakan oleh Franz Magnis guna mengartikan etika sebagai keseluruhan norma dan pemikiran yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat agar mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya, bagaimana seseorang membawa diri, sikap-sikap dan tindakan-tindakan, mana yang harus dikembangkan agar kehidupannya sebagai manusia memiliki arti15.
Dalam posisi yang lain, etika juga diartikan sebagai filsafat moral, pada peran yang demikian maka etika berperan sebagai ilmu16. Dalam pengertian ini, Ahmad Amin mendefinisikan etika sebagai suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang kehendaknya disesuaikan dengan nilai susila kemanusiaan, karena manusia diberi akal, perasaan dan budi perkerti17.
2.      Etika Politik
Menurut ahli etika modern, etika pada hakekatnya tidak saja hanya bersangkutan dengan pengetahuan tentang “baik” dan “buruk”18. Etika tidak saja hanya sebatas sisi “normatif”nya saja, tetapi lebih dari itu, juga menyangkut bidang kehidupan yang luas.
Paling tidak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alasdair Macintyre, etika juga menyangkut analisis konseptual mengenai hubungan yang dinamis antara manusia sebagai obyek yang aktif dengan sekian fikiran-fikiran yang dimiliki, dengan dorongan dan motivasi dasar tingkah lakunya, dengan cita-cita dan tujuan hidup serta perbuatan-perbuatannya. Kesemuanya itu menunjukkan adanya proses interaksi yang dibangun secara dinamis dan saling terkait antara satu dengan yang lain19. Jadi ada keterkaitan erat antara etika dan sistem atau pola berfikir yang dianut oleh pribadi dan kelompok masyarakat. Karenanya, etika juga membahas tentang perbuatan manusia, maka wajar ia juga berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat.
Oleh karena itu, etika bisa dibagi menjadi dua, yakni etika individual dan etika sosial. Dalam etika individual, dipersoalkan tentang kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri yang memiliki hak. Sedang etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Etika sosial berkaitan dengan etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Karena itu, maka termasuk dalam etika sosial adalah etika politik atau etika mengenai dimensi politis kehidupan manusia20.
Sehingga Deliar Noer mempertegas pengertian etika politik sebagai segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan, yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat21. Sedangkan menurut Franz Magnis, etika politik bertujuan untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai individu --dan bukan hanya sebagai anggota  masyarakat-- terhadap suatu kelompok yang lebih luas, baik tentang hukum, kebijaksanaan dan lain-lain22. Sedangkan dalam pandangan Inu Kencana Syafi’i, etika politik bertujuan untuk mewujudkan moral dan budi pekerti dalam hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa suatu kekuasaan, sehingga orientasi dari etika politik tidak lain ialah etika pemerintahan atau kekuasaan dalam suatu wilayah23.

C.    Etika Politik Islam

Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat illahiah, karena itu sekaligus bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultur dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjaman dan menjagatraya (universal), tetapi di sisi lain ia juga hendaknya mampu mengejawantahkan diri dalam institusi-institusi sosial  yang  dipengaruhi
oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu24. Jadi disamping memiliki peran vertikal    juga    mengemban   misi   horizontal,   karenanya    keberadaan    Islam

sebenarnya juga tidak lepas dari setting sosial yang berkembang25.
Dengan demikian, Islam yang mengandung ajaran dokrin yang bersifat universal tersebut, pada tingkat sosial tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Perubahan sering dikatakan sebagai sunnahtullah, sekaligus merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Semua manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan hidup mengalami perubahan secara terus menerus.
Oleh karena itu, institusi-institusi masyarakat politik Islam dan konstitusi yang dirancang untuk mengatur kehidupan, dalam proses transformasi sosialnya tidak “mengebiri” kelompok masyarakat tertentu dalam mengaktualisasikan hak-haknya, sebagaimana kehadiran Islam pun mampu membawa kedamaian dan kemaslakhatan bagi semua kalangan26, yang didasari oleh semangat keimanan yang kuat kepada Allah SWT.
Diskursus tentang konsep politik Islam, memang tidak dinyatakan dalam kalimat yang jelas, namun demikian Islam secara tegas membawa ajaran rahmatanlil ‘alamin dengan semangat keimanan. Cita-cita kedamaian ini  seharusnya mampu diimplementasikan dalam tataran praksis, sehingga semangat dan cita-cita Islam tidak hanya sebagai ajaran yang “melangit”, tetapi membumi.
Berangkat dari semangat keimanan, konsep politik Islam minimal mengandung makna, pertama, semangat keadilan yang pada dasarnya adalah inti tugas suci (pesan ketuhanan, risalah) para nabi27. Maka keterkaitan antara iman dengan prinsip keadilan ini, sebenarnya merupakan dasar politik Islam. Dalam berbagai pernyataan kitab suci ditegaskan bahwa Tuhan Maha Adil, dan bagi manusia (khususnya umat Muslim) perbuatan adil adalah sebagai tindakan persaksiannya kepada Tuhan, yang harus mampu diimplementasikan dalam sehidupan nyata28. pengertian adil dalam kitab suci tersebut juga terkait erat dengan sikap seimbang dan moderasi dalam bingkai semangat toleransi.
Kedua, sikap toleransi, yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam, seperti tampak dalam proses penaklukan kota Mekah. Meskipun banyak orang Qurais tetap memeluk agama nenek moyangnya, Nabi Saw tetap menghargai mereka29. Bila dikaji lebih dalam, perbedaan diantara manusia telah menjadi kehendak Tuhan30. Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan, niscaya manusia seluruhnya akan bersatu. Mengapa Tuhan menjadikan manusia berbeda-beda? Tidak lain agar terjalin kerjasama antara mereka dalam mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya31.
Ketiga sikap amanah kepada umat manusia, khususnya amanah yang berkaitan dengan kekuasaan memerintah. Dalam pandangan agama, kekuasaan memerintah adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi ketertiban tatanan kehidupan manusia. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah kepatuhan orang banyak pada para penguasa. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah kekuasaan yang berasal dari orang banyak, yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan32.
Keempat, sikap demokratis yang tercermin dalam suasana musyawarah. Secara teologis, bangunan teoritis mengenai keterkaitan organik antara nilai-nilai iman dengan demokrasi adalah pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (yang sering diterjemahkan sebagai wujud “kontrak sosial”). Artinya, iman kepada Allah, menuntut agar segala hal yang menyangkut sesama manusia diselesaikan melalui musyawarah (QS. 3: 159), sehingga mampu melahirkan rasa menghargai diantara sesamanya, karena manusia adalah mahluk yang penuh dengan kelebihan dan juga keterbatasan. Musyawarah yang benar tidak  akan terwujud tanpa pandangan persamaan manusia-manusia atau egalitarianisme yang kuat33.
Kelima, prinsip persamaan bagi seluruh umat manusia, karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu (sama), dan ayah atau moyang seluruh umat manusia adalah satu (sama) yaitu Adam. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa klaim keunggulan karena faktor-faktor kenisbatan seperti kesukuan, kebangsaan, warna kulit, kekayaan dan lain-lain, sama sekali tidak dibenarkan. Karena dalam pandangan Islam kelebihan seseorang atas yang lain, hanya menurut kadar dan tingkat ketaqwaan yang dicapainya34.
Dari kelima sikap diatas, jelas bahwa dasar teologis mengenai Islam sebagai agama kemanusiaan --jadi bukan hanya sebagai retorika belaka-- mendasari gagasan politik Islam. Berdasarkan orientasi, visi maupun misi Islam yang bersumber dari Al qur’an dan al Hadits. Semua tidak lepas dari pemahaman tentang aktualisasi nilai-nilai keimanan yang dapat membawa implikasi dan efek yang lebih luas. Salah  satu wujud iman35  ialah sikap tidak memutlakkan sesama manusia ataupun sesama makhluk --yang bila ini terjadi bisa membawa kepada kemusrikan--- sehingga tidak ada alasan untuk takut kepada sesama manusia atau mahluk lain. sebaliknya hal ini akan menumbuhkan kesadaran manusia untuk saling menghargai dan menghormati sesamanya, yang berbentuk hubungan sosial yang serasi. Implikasi pandangan hidup tersebut, adalah sikap terbuka kepada sesama manusia, dalam bentuk kesediaan tulus untuk menghargai pikiran dan pendapat mereka yang outentik, kemudian mengambil dan mengikuti mana yang terbaik.  Sehingga etika politik Islam bukan semata-mata dibangun atas dasar dorongan nafsu, tetapi lebih jauh etika politik Islam yang dikembangkan adalah sebuah wujud penghambaan tulus manusia kepada Allah yang telah ditunjuk sebagai khalifatullah ---wakil Allah di bumi--- dilaksanakan demi kemaslakhatan yang lebih luas ---rahmatanlil ‘alamin--.

D.    Kesimpulan

Berdasar dari uraian tersebut diatas dapat penulis simpulkan:
pertama, agar manusia hidup di muka bumi penuh kedamaian, maka dibutuhkan seperangkat etika politik dalam konteks penciptaan manusia sebagai khalifatullah.
Kedua, agama Islam yang memiliki peran vertical, juga mengemban misi horizontal yang mendorong kepada umatnya agar tidak terjebak pada aspek ritualitas semata, namun juga mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Ketiga, dengan semangat ketauhidan, umat Islam hendaknya mampu mewujudkan amanahnya sebagai khalifah fil ard (pemimpin di bumi).
Keempat, aktualisasi keimanan dalam Islam merupakan basic penyusunan konsep etika politik Islam.

                       


DAFTAR PUSTAKA


Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara; Kritik Teori Politik Islam, Terj. Amiruddin Ar Rani, Yogyakarta: LkiS, 1994.

Ahmad Ibnu Hanbal, Murnad al Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Jilid 2, Beirut: Dar al Fikr, t.th.

A.P. Cowie (ed), Oxford Learner’s, Pocket Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1987.

Ahmad Amin, Etika; Ilmu Ahlaq, Terj. Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

___________, Al Ghazali “Dimuka Cermin” Immanuel Kant; Kajian Kritis Konsepsi EtikaDalam Agama, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. V, 1994.

A.W. Widjaja, Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik,  Jakarta: Rajawali, 1983.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1989.

Edi Nanang, Asal Usul Islam, Jurnal Tamaddun, Edisi 08, Maret 2004.

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:  Kanisius, 1993.

__________________, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1993.

__________________, Etika Politik, Prinsip-prinsip Modal Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

H. De Vos, Pengantar Etika, Terj. Soejono Soemargono,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.

Ibn Hisyam, Sirah al-Nabawiyah, Vol 2, Beirut: Dar al-Ihya al-Turath, t.th.

Inu Kencana Syafi’i,  Etika Pemerintahan, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1991.

_______________, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999.

Paul Edwards, (ed), The Eneyclopaedia of  Philosophy, Vol. III, New York: Macmillan Publishing and The Free Press, 1967.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan  Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Terj. Sukoyo, et., al., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

William Lillie, An Introduction to Ethics, New York: Barnes Nable, 1957.




1 Setelah Nabi Saw wafat, umat Islam mulai berhadapan langsung dengan persoalan otoritas negara. Struktur politik yang dibangun oleh Nabi saw adalah hal yang unik dalam sejarah. Berbeda dengan otoritas negara konvensional yang keabsahaannya hampir mutlak, sementara otoritas politik yang dibangun oleh Nabi Saw itu ---boleh dibilang--- merupakan asosiasi sukarela. Baca Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak Bernegara; Kritik Teori Politik Islam, Terj. Amiruddin Ar Rani, (Yogyakarta: LkiS, 1994), 23.
2 Baca QS. 9: 53.
3 Lihat Piagam Madinah dalam Ibn Hisyam, Sirah al-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turath, tt, Vol 2), 147.
4 Baca QS. 5: 42.
5 Tidak lama setelah Nabi Saw wafat --belum lagi jenasahnya dimakamkan-- sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun akhirnya dicapai kata sepakat untuk memilihAbu Bakar secara demokratis. Begitu juga ketika pergantian kekhalifahan dari Abu Bakar ke Umar dan ke Usman, dilakukan secara demokratis. Tetapi ketika masa kekhalifahan Usman, terjadi perselisihan diantara umat Islam, sampai akhirnya terbunuhlah Usman saat dia selesai melaksanakan sholat subuh di masjid. Baca, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 35 – 41. Bandingkan juga dengan W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Terj. Sukoyo, et., al., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 9 – 12.
6 Karena Nabi Saw sendiri tidak secara tegas menyatakan tentang bagaimana etika politik Islam. Nabi Saw hanya memberikan “lampu hijau” kepada umatnya dalam mengatur dunia ini dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dalam sebuah Hadist dinyatakan: Antum a’lamu bi umuri dunyakum, yang berarti  “Kamu lebih mengetahui tentang duniamu”, begitu juga Al qur’an hanya menegaskan “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala hal….” (QS. 3: 159), demikian juga dalam ayat lainnya hanya dikatakan “….serta dan urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka….”  (QS. 42: 38)
7 Sebagaimana secara eksplisit dinyatakan oleh Nabi Saw bahwa sesungguhnya aku diutus di dunia untuk menyempurnakan akhlaq manusia, Baca Ahmad Ibnu Hanbal, Murnad al Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Jilid 2, (Beirut: Dar al Fikr, t.th.), 381.
8 Baca QS. 2: 30. Bandingkan dengan Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 8, dinyakan bahwa tidak terlalu mengejutkan jika dalam masyarakat yang banyak komunitas Islamnya ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan politik sosialnya berdasarkan pada ajaran Islam.
9 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 4.
10 A.P. Cowie (ed), Oxford Learner’s, Pocket Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1987), 127.
11 K. Bertens, Etika,  Ibid, 5.
12 William Lillie, An Introduction to Ethics, (New York: Barnes Nable, 1957), 1. Baca juga H. De Vos, Pengantar Etika, Terj. Soejono Soemargono,  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 1-2.
13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan  Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 237.
14 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:  Kanisius, 1993), 14.
15 Baca Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1993), 6.
16 Baca K. Bertens, Etika, 8.
17 Baca Ahmad Amin, Etika; Ilmu Ahlaq, Terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 3.
18 Baca Paul Edwards, (ed), The Eneyclopaedia of  Philosophy, Vol. III, (New York: Macmillan Publishing and The Free Press, 1967), 118, 121, 130 – 132.
19 Baca M. Amin Abdullah, Al Ghazali “Dimuka Cermin” Immanuel Kant; Kajian Kritis Konsepsi EtikaDalam Agama, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. V, 1994, 49.
20 Baca Franz Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Modal Dasar Kenegaraan Modern,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) , 13.
21 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), 6.
22 Baca Franz Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Modal Dasar Kenegaraan Modern, Ibid, 14.
23 Baca Inu Kencana Syafi’i,  Etika Pemerintahan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 8. dan  Bandingkan juga dengan A.W. Widjaja, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 30.
24 Jadi seharusnya ajaran Islam juga mampu “menyapa” (kontekstual) dan “menyentuh” wilayah kehidupan masyarakat, agar misi yang diemban oleh Islam tidak hampa, yang pada akhirnya tidak memiliki arti apapun. Baca Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 29.
25 Tuhan telah menjanjikan (dalam perjanjian lama) akan mengutus seorang Rasul sebagai penutup para Nabi dan Rasul ketika masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial pada waktu itu. Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat yang tidak hanya memiliki orientasi vertikal tetapi juga memiliki orientasi horizontal.  Baca Edi Nanang, Asal Usul Islam, Jurnal Tamaddun, Edisi 08, Maret 2004, 8.
26 Lihat bagaimana sejarah menyaksikan proses penaklukan kota Mekah oleh kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Kala itu tidak terdapat setetes darah pun yang mengalir. Bahkan Nabi Saw memberikan jaminan keselamatan bagi siapa saja baik orang Muslimin maupun kaum musrikin Qurais. 
27 QS. 10: 47, dinyatakan  “Tiap-tiap umat mempunyai Rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah  keputusan antara mereka, dengan adil….”
28 QS. 5: 8, menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran), karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kamu sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih mendekatkan kepada takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
29 Sehingga Nabi pun memunculkan dua macam bentuk orang kafir, yakni kafir dzimi dan kafir harby, bagi kafir dzimi yang memang ingin berdamai dengan Islam, Nabi Saw memberikan jaminan keselamatan penuh atas dirinya dan orang-orang Muslimin yang mengusik kafir dzimi tidak akan menjumpai Nabi kelak diakhirat dan bahkan lebih ekstrim lagi  Muslimin tersebut tidak akan pernah menghirup baunya sorga.
30 QS. 11: 118, “Seandainya Tuhan menghendaki niscaya Dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Tuhan tidak menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda pendapat…”, bandingkan juga dengan ayat lain QS. 2: 213, “….Manusia tadinya satu kesatuan, kemudian mereka berselisih….”
31 QS. 49: 13, dinyatakan “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah ciptakan kamu terdiri (dan bersumber) dari pria dan wanita, dan Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, (tiada lain) agar kamu saling kenal mengenal (bekerja sama). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
32 Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1991), 116.
33 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), 191.
34 QS. 49: 13, artinya “…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa…”.
35 Implikasi iman, sangat jelas, yaitu seseorang yang telah beriman kepada Allah tidak mungkin mendukung sistem tiranik (thughyan), sebab setiap tirani bertentangan dengan pandangan hidup yang hanya memutlakkan Tuhan Yang Maha Esa.  Sikap terbuka kepada sesama manusia, dalam kedalaman jiwa saling menghargai, namun tidak terlepas dari sikap kritis, adalah indikasi adanya petunjuk dari Tuhan. Sikap kritis yang mendasari keterbukaan itu, merupakan segi konsekuensial iman, karena merupakan kelanjutan dari sikap pemutlakan yang hanya ditujukan kepada Allah (tawhid itu), dan penisbian kepada segala sesuatu selain Tuhan. Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi,Ibid,  xxxiii